Sabtu, 30 Mei 2009

Kisah sukses karna menjual kerupuk

Derita Sang Emak…
Oleh Achmad Subechi - 21 Desember 2008 - Dibaca 674 Kali -

SETIAP kali nongkrong di Lapangan Merdeka, Balikpapan, Kalimantan Timur, saya selalu menyempatkan diri membeli gado-gado atau rujak. Para penjualnya, rata-rata usianya di atas 50 tahun. Emak-emak itu setiap hari mengais rezeki untuk menafkahi keluarganya. Mengapa belakangan saya tak mau mampir?

TANGANNYA terampil mengulek bumbu gado-gado. Kacang yang sudah digiling halus, ia campur dengan cabe rawit, air asam, bawang putih yang sudah digoreng, petis, gula merah dan garam. Kuamati satu persatu kelincahan tangannya. Dalam hitungan menit, bumbu-bumbu itu sudah halus.

Selanjutnya emak itu memgambil tahu, tempe, lontong, kolop (sayur) dan mentimun. Semuanya diaduk menjadi satu dengan bumbu yang sudah ehmmm… baunya mantap booo… Ia mengambil piring. Semua makanan hasil olahan tangan, ia pindah ke piring. Sebelum diberikan ke saya, sang emak lebih dulu menaburkan kerupuk.

Sebelumnya, ada seorang pria (pensiunan) perusahaan minyak, terlihat antre membeli dua bungkus gado-gado. Sambil menunggu makanan olahan jadi, lelaki tua membawa mobil mewah, tanpa basa-basi mengambil kerupuk-kerupuk tersimpan di dalam plastik besar.

Suaranya krauk.. krauk…. Sang penjual tersenyum dan mempersilakan Pak Tua mengambil sesuka-sukanya dengan bahasa daerah (saya tak paham itu bahasa apa). Dua bungkus rujak sudah selesai. Pak Tua berdiri. Ia menyodorkan uang Rp 20.000. Ketika kembaliannya kurang seribu, Pak Tua tak mau merelakannya. Ia tetap saja berdiri di depan lapak, sambil menunggu sang penjual lari kesana-kemari menukarkan uangnya..

Dalam hati saya, “Pak Tua ini edan… Mbok diikhlaskan saja uang seribu perak itu. Lha dia dari tadi makan kerupuk itu apa enggak dihitung? Kagak ada yang gratisan atuh… Emak itu beli kerupuk mentah juga pakai duit.” Ah.. biarin saja, itu urusan hati antara Pak Tua dengan sang emak. Setelah menerima uang kembalian, Pak Tua tancap gas bersama bininya. Entah kemana. Emang gue pikirin… Hik.. hik.. hik….
***
SAYA masih menikmati gado-gado hasil karya wanita itu. “Kok enak gado-gado ini? Kenapa enak? Mengapa ya kalau bumbu-bumbu gado-gado itu diblender kok rasanya berbeda?” Pertanyaan itu selalu saja berkecamuk dalam pikiran saya. Eiiitt…. saya menemukan jawabannya. Mudah-mudahan rasional…

Begini, blender itu kan menggunakan kekuatan mesin untuk menghaluskan bahan-bahan makanan.. Sedangkan tangan manusia menggunakan kekuatan tenaga (energi) alami. Saya menduga, ketika tangan sang pedagang itu mengulek-ulek bumbu, maka akan terpancar cahaya dari energi yang dia keluarkan.

Nah, cahaya itu memantul ke bumbu-bumbu makanan yang sedang diracik. So… kesimpulannya, ada misteri atas kekuatan energi manusia yang harus kita cari dan kita teliti lebih dalam. Apakah betul? Atau ini hanya pikiran saya saja yang ngelantur saja.

Ditengah lamunan iitu saya sedikit terkaget dengan sapaan sang emak. “Mau minum apa Nak?” “Ehmm.. air mineral saja Bu…” “Sebentar Nak.. saya ambilkan ya….” Sambil mengangkat jariknya, wanita itu lari dengan kencang. Ia menyeberang jalan, terus lari ke arah halaman gedung yang selama ini dikelola oleh Koperasi Kilang Mandiri.

Saya amati dia dari kejahuan. Lho… kok tiba-tiba hilang? Apa mata saya yang keliru atau wanita itu memang sedang ada masalah? Saya bangkit dari duduk. Astaga… rupanya wanita itu menyembunyikan botol-botol mineralnya di dalam lubang, supaya tidak ketahuan petugas yang suka merazia pedagang jalanan. Ia masuk ke dalam lubang itu dan keluar kembali sambil membawa empat botol minuman.

Sebotol diberikan ke saya dan sisanya ia sembunyikan di bawah pohon. Kebetulan ada lubang cukup besar di pohon kayu yang ada di tepi jalan. Lubang itu lalu ia tutup dengan koran. “Kok disimpan di situ Bu botol-botol ini? Apa enggak terlalu jauh?” Mata wanita itu berkaca-kaca. Kagak usah diteruskan ceritanya, saya sudah memahami apa makna dari sorot mata wanita yang benar-benar tulus menyambung hidup demi anak-anaknya.

“Saya ini sudah tua Nak. Andai saja anak saya yang terakhir sekolahnya sudah selesai, saya enggak mungkin lagi mau bekerja. Ibu sering sakit-sakitan. Tapi karena anak, ya mau diapakan lagi,” katanya dengan suara agak parau. Sekolah dimana Bu? “Anak saya masih kelas tiga STM.”

Ia lalu menceritakan kenapa botol-botol itu disimpan agak jauh dari bedak jualannya –berupa kayu kotak berukuran satu meter kali setengah meter yang ditaruh di atas bakul bambu. Ia takut dan sangat takut kalau ada razia. “Modal saya kan sedikit, kalau dirampas kami mau jualan apalagi Nak…”

Lagi-lagi aparat. Bicara aparat, berarti bicara soal penguasa. Kekuasaan diberikan bisa melalui selembar surat atau sepotong baju lengkap dengan badge-nya. Ketika kekuasaan sudah melekat, manusia-musia itu bergerak mengawal peraturan. Kalau ada yang melanggar, maka tanpa ada ampun. Air mata atau tangisan sang pedagang, tak mampu menerobos jantung hati para aparat.

Atas nama negara, atas nama pemerintahan daerah, eksekusi tetap saja dijalankan. Tak ada yang berani melawan, tak ada yang berani menggugat. Yang ada hanya tangis isak kepiluan, kepedihan, bahkan mengiiba-iba memohon welas asih agar barang dagangannya tak diangkut ke dalam truk.

Fenomena itu terjadi dimana-mana. Setelah aparat pergi, tinggalah isak tangis dari kaum papa. Sesampainya di rumah, kaum-kaum lemah yang setiap hari merasa tertindas ulah aparat yang tak profesional, tinggal merenungi nasibnya. Mereka sedih, anak-anaknya sedih. Kebutuhan sekolah anak-anak mereka terpaksa ditunda… Untuk bangkit lagi, mereka harus mencari hutangan kesana-kemari. Lelah… dan capekkkkkkkkkkkk…..

Malamnya, mereka enggak bisa tidur pulas. Berdoa dan berdoa serta sujud kepada Tuhan berharap pintu rezeki dibuka dari langit dan malaikat-malaikat pemberi rezeki itu datang dengan membawa titipan salam… Salam sejahtera dari Sang Maha Pencipta, Maha Pemberi, Maha Pengasih, Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha segala-galanya.

Andai kaum-kaum tertindas itu tak berhati baik, saya enggak bisa bayangkan apa yang akan terjadi kepada para aparat yang tak becus dan bisanya hanya menekan-nekan kaum lemah dengan mengatasnamakan negara….

Padahal negara sendiri, tidak akan pernah membantu para pedagang macam pedagang gado-gado, penjual durian, penjual helm, penjual kerupuk dan lain sebagainya. Negara lebih peduli dengan UKM-UKM yang sebenarnya mereka sudah lebih mapan dibanding sang emak penjual gado-gado yang sempat bercengkerama dengan saya dari hati ke hati…

Andai saja kaum-kaum lemah itu berhati busuk, maka ketika semua manusia terlelap tidur, ia angkat kedua tangannya meminta kepada Tuhan agar manusia-manusia yang telah mendzhalimi dirinya ditutup pintu rezekinya, dibuka aibnya, dan diberi cobaan berturut-turut, apa yang akan terjadi?

Kita semua tidak pernah tahu apa isi doa yang dipanjatkan manusia-manusia tertindas semacam itu. Kita juga enggak bisa mengguping, menyadap isi pembicaraan mereka dengan Tuhannya. Ehmmm… saya hanya berharap, Mak… “Jangan lakukan itu… Sabar…. ya… Gusti Allah tidak tidur kok Mak…”

Share on Facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar