Sabtu, 30 Mei 2009

BBM

Ada apa dengan BBM May 23, 2008

Posted by admin in : Article, Opini , trackback

Sebuah pendapat yang menarik yang disampaikan oleh sdr. Goenardjoadi Goenawan

Saat ini marak demo anti kenaikan BBM. Di beberapa daerah malah ibu-ibu rumah tangga ikut teriak mengeluh kesah mohon agar BBM idak naik, dan pemerintah lebih memperdulikan rakyat kecil.

Namun kelihatannya rencana kenaikan harga BBM dalam satu dua hari ini tidak dapat dicegah. Seperti menunggu palu godam, kepala rakyat kecil sudah terpekik oleh jeritan penderitaan, dan harus menerima pukulan terakhir.

Kalau dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Brazil, atau Argentina, kelihatannya disana kondisi sungguh rawan. Sedikit saja terjadi inflasi, atau devaluasi hanya 20% rakyat sudah bakar segala macam minimarket. Sedangkan di Indonesia, kenaikan BBM Oktober 2005 sampai 2 kali lipat masih belum membuat rakyat bergerak.

Mengapa?

Apakah ini karena confident yang luar biasa dari Jusuf Kala, yang sering mengucapkan: Tidak masalah, karena BLT akan segera diperbaiki distribusinya. Bayangkan uang sebesar Rp 300,000 bisa mengatasi naiknya beban hidup?

Ataukah karena Rakyat Indonesia memiliki budaya tepo sliro yang tinggi? Enggan untuk mengutarakan pendapatnya secara langsung?

Ataukah Rakyat Indonesia seperti kata orang, tahan menderita?

Sebenarnya bukan begitu.

Beberapa fakta di lapangan Indonesia kondisinya sungguh unik dan mungkin sungguh spektakuler dibanding dengan negara-negara berkembang lainnya. Apa yang dimiliki Indonesia yang menjadi buffer dari segala kekacauan, yang mungkin timbul?

PNS

Kita sering lupa, PNS di Indonesia memegang rekor tertinggi di dunia. Ada 5 juta PNS di Indonesia. Belum lagi pegawai BUMN. Lain lagi Keluarga besar TNI / Polri. Kalau ditotal jumlahnya lebih dari 20 juta penduduk. Mereka adalah lapisan golongan menengah yang menjadi buffer gejolak ekonomi sosial rakyat.

Sebetulnya, dari seluruh 240 juta penduduk Indonesia, kunci stabilitas ekonomi ada di golongan menengah. Golongan menengah ini yang memiliki sifat-sifat unik. Tidak seperti golongan bawah, golongan menengah memiliki harapan (ekspektasi) yang lebih tinggi. Mereka lebih bersikap optimis, dibandingkan golongan bawah.

Sebaliknya, dibandingkan golongan atas, golongan menengah ini lebih toleransi. Lebih memiliki empati. Lebih mengerti penderitaan rakyat kecil. Mereka yang menyuarakan Rakyat untuk bersabar, lebih toleransi.

Oleh karena itu, yang paling berbahaya dalam stabilitas ekonomi sosial sebuah negara adalah hilangnya lapisan golongan menengah. Ibarat badan seorang gadis, bagian perut di tengah mengecil, dan karena sangat kecil, seperti hampir putus. Kalau golongan menengah mengecil, maka akibatnya sungguh berbahaya.

Benar kata sebagian birokrat: Janganlah kita pesimis, lihatlah bandara penuh sesak!. Bandara Sepinggan yang besar sudah hampir tidak muat. Apalagi Bandara Polonia sudah meluber…. Pengunjung penuh sesak. Bandara Juanda sudah direnovasi, sudah ada terminal baru. Brand new!.

Hotel penuh sesak. Mall-mall masih penuh setiap weekend.

Golongan menegah Indonesia sungguh unik, mereka jumlahnya luar biasa.

Namun ada sisi buruknya dari kondisi ini. Ibarat radiator, memang kelihatannya berisi cairan tahan suhu tinggi, titik didihnya meningkat, namun akhirnya monitoring temperatur menjadi lumpuh, dan sewaktu-waktu njebluk. Itu terjadi bila pemimpin kehilangan sensitivitas. .. Tidak peka lagi terhadap penderitaan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar