Sabtu, 30 Mei 2009

Kisah sukses karna menjual kerupuk

Derita Sang Emak…
Oleh Achmad Subechi - 21 Desember 2008 - Dibaca 674 Kali -

SETIAP kali nongkrong di Lapangan Merdeka, Balikpapan, Kalimantan Timur, saya selalu menyempatkan diri membeli gado-gado atau rujak. Para penjualnya, rata-rata usianya di atas 50 tahun. Emak-emak itu setiap hari mengais rezeki untuk menafkahi keluarganya. Mengapa belakangan saya tak mau mampir?

TANGANNYA terampil mengulek bumbu gado-gado. Kacang yang sudah digiling halus, ia campur dengan cabe rawit, air asam, bawang putih yang sudah digoreng, petis, gula merah dan garam. Kuamati satu persatu kelincahan tangannya. Dalam hitungan menit, bumbu-bumbu itu sudah halus.

Selanjutnya emak itu memgambil tahu, tempe, lontong, kolop (sayur) dan mentimun. Semuanya diaduk menjadi satu dengan bumbu yang sudah ehmmm… baunya mantap booo… Ia mengambil piring. Semua makanan hasil olahan tangan, ia pindah ke piring. Sebelum diberikan ke saya, sang emak lebih dulu menaburkan kerupuk.

Sebelumnya, ada seorang pria (pensiunan) perusahaan minyak, terlihat antre membeli dua bungkus gado-gado. Sambil menunggu makanan olahan jadi, lelaki tua membawa mobil mewah, tanpa basa-basi mengambil kerupuk-kerupuk tersimpan di dalam plastik besar.

Suaranya krauk.. krauk…. Sang penjual tersenyum dan mempersilakan Pak Tua mengambil sesuka-sukanya dengan bahasa daerah (saya tak paham itu bahasa apa). Dua bungkus rujak sudah selesai. Pak Tua berdiri. Ia menyodorkan uang Rp 20.000. Ketika kembaliannya kurang seribu, Pak Tua tak mau merelakannya. Ia tetap saja berdiri di depan lapak, sambil menunggu sang penjual lari kesana-kemari menukarkan uangnya..

Dalam hati saya, “Pak Tua ini edan… Mbok diikhlaskan saja uang seribu perak itu. Lha dia dari tadi makan kerupuk itu apa enggak dihitung? Kagak ada yang gratisan atuh… Emak itu beli kerupuk mentah juga pakai duit.” Ah.. biarin saja, itu urusan hati antara Pak Tua dengan sang emak. Setelah menerima uang kembalian, Pak Tua tancap gas bersama bininya. Entah kemana. Emang gue pikirin… Hik.. hik.. hik….
***
SAYA masih menikmati gado-gado hasil karya wanita itu. “Kok enak gado-gado ini? Kenapa enak? Mengapa ya kalau bumbu-bumbu gado-gado itu diblender kok rasanya berbeda?” Pertanyaan itu selalu saja berkecamuk dalam pikiran saya. Eiiitt…. saya menemukan jawabannya. Mudah-mudahan rasional…

Begini, blender itu kan menggunakan kekuatan mesin untuk menghaluskan bahan-bahan makanan.. Sedangkan tangan manusia menggunakan kekuatan tenaga (energi) alami. Saya menduga, ketika tangan sang pedagang itu mengulek-ulek bumbu, maka akan terpancar cahaya dari energi yang dia keluarkan.

Nah, cahaya itu memantul ke bumbu-bumbu makanan yang sedang diracik. So… kesimpulannya, ada misteri atas kekuatan energi manusia yang harus kita cari dan kita teliti lebih dalam. Apakah betul? Atau ini hanya pikiran saya saja yang ngelantur saja.

Ditengah lamunan iitu saya sedikit terkaget dengan sapaan sang emak. “Mau minum apa Nak?” “Ehmm.. air mineral saja Bu…” “Sebentar Nak.. saya ambilkan ya….” Sambil mengangkat jariknya, wanita itu lari dengan kencang. Ia menyeberang jalan, terus lari ke arah halaman gedung yang selama ini dikelola oleh Koperasi Kilang Mandiri.

Saya amati dia dari kejahuan. Lho… kok tiba-tiba hilang? Apa mata saya yang keliru atau wanita itu memang sedang ada masalah? Saya bangkit dari duduk. Astaga… rupanya wanita itu menyembunyikan botol-botol mineralnya di dalam lubang, supaya tidak ketahuan petugas yang suka merazia pedagang jalanan. Ia masuk ke dalam lubang itu dan keluar kembali sambil membawa empat botol minuman.

Sebotol diberikan ke saya dan sisanya ia sembunyikan di bawah pohon. Kebetulan ada lubang cukup besar di pohon kayu yang ada di tepi jalan. Lubang itu lalu ia tutup dengan koran. “Kok disimpan di situ Bu botol-botol ini? Apa enggak terlalu jauh?” Mata wanita itu berkaca-kaca. Kagak usah diteruskan ceritanya, saya sudah memahami apa makna dari sorot mata wanita yang benar-benar tulus menyambung hidup demi anak-anaknya.

“Saya ini sudah tua Nak. Andai saja anak saya yang terakhir sekolahnya sudah selesai, saya enggak mungkin lagi mau bekerja. Ibu sering sakit-sakitan. Tapi karena anak, ya mau diapakan lagi,” katanya dengan suara agak parau. Sekolah dimana Bu? “Anak saya masih kelas tiga STM.”

Ia lalu menceritakan kenapa botol-botol itu disimpan agak jauh dari bedak jualannya –berupa kayu kotak berukuran satu meter kali setengah meter yang ditaruh di atas bakul bambu. Ia takut dan sangat takut kalau ada razia. “Modal saya kan sedikit, kalau dirampas kami mau jualan apalagi Nak…”

Lagi-lagi aparat. Bicara aparat, berarti bicara soal penguasa. Kekuasaan diberikan bisa melalui selembar surat atau sepotong baju lengkap dengan badge-nya. Ketika kekuasaan sudah melekat, manusia-musia itu bergerak mengawal peraturan. Kalau ada yang melanggar, maka tanpa ada ampun. Air mata atau tangisan sang pedagang, tak mampu menerobos jantung hati para aparat.

Atas nama negara, atas nama pemerintahan daerah, eksekusi tetap saja dijalankan. Tak ada yang berani melawan, tak ada yang berani menggugat. Yang ada hanya tangis isak kepiluan, kepedihan, bahkan mengiiba-iba memohon welas asih agar barang dagangannya tak diangkut ke dalam truk.

Fenomena itu terjadi dimana-mana. Setelah aparat pergi, tinggalah isak tangis dari kaum papa. Sesampainya di rumah, kaum-kaum lemah yang setiap hari merasa tertindas ulah aparat yang tak profesional, tinggal merenungi nasibnya. Mereka sedih, anak-anaknya sedih. Kebutuhan sekolah anak-anak mereka terpaksa ditunda… Untuk bangkit lagi, mereka harus mencari hutangan kesana-kemari. Lelah… dan capekkkkkkkkkkkk…..

Malamnya, mereka enggak bisa tidur pulas. Berdoa dan berdoa serta sujud kepada Tuhan berharap pintu rezeki dibuka dari langit dan malaikat-malaikat pemberi rezeki itu datang dengan membawa titipan salam… Salam sejahtera dari Sang Maha Pencipta, Maha Pemberi, Maha Pengasih, Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha segala-galanya.

Andai kaum-kaum tertindas itu tak berhati baik, saya enggak bisa bayangkan apa yang akan terjadi kepada para aparat yang tak becus dan bisanya hanya menekan-nekan kaum lemah dengan mengatasnamakan negara….

Padahal negara sendiri, tidak akan pernah membantu para pedagang macam pedagang gado-gado, penjual durian, penjual helm, penjual kerupuk dan lain sebagainya. Negara lebih peduli dengan UKM-UKM yang sebenarnya mereka sudah lebih mapan dibanding sang emak penjual gado-gado yang sempat bercengkerama dengan saya dari hati ke hati…

Andai saja kaum-kaum lemah itu berhati busuk, maka ketika semua manusia terlelap tidur, ia angkat kedua tangannya meminta kepada Tuhan agar manusia-manusia yang telah mendzhalimi dirinya ditutup pintu rezekinya, dibuka aibnya, dan diberi cobaan berturut-turut, apa yang akan terjadi?

Kita semua tidak pernah tahu apa isi doa yang dipanjatkan manusia-manusia tertindas semacam itu. Kita juga enggak bisa mengguping, menyadap isi pembicaraan mereka dengan Tuhannya. Ehmmm… saya hanya berharap, Mak… “Jangan lakukan itu… Sabar…. ya… Gusti Allah tidak tidur kok Mak…”

Share on Facebook

Penjual Tempe

Kisah Penjual Tempe dan Doanya
Oleh : Salim Syarief Md.

18-Okt-2008, 08:36:24 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Di Karangayu, sebuah desa di Kendal, Jawa Tengah, hiduplah seorang ibu penjual tempe. Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lalukan sebagai penyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang.

“Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya.” demikian dia selalu memaknai hidupnya. Suatu pagi, setelah salat subuh, dia pun berkemas mengambil keranjang bambu tempat tempe, dia berjalan ke dapur, diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas meja panjang.

Tapi, deg! dadanya gemuruh, tempe yang akan dia jual, ternyata belum jadi masih berupa kacang, sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari peragian. Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas, dia membayangkan, hari ini pasti dia tidak akan mendapatkan uang untuk makan dan modal membeli kacang kembali, yang akan dia olah kembali menjadi tempe.

Di tengah putus asa, terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, di tengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. “Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe . Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibk.” Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya. Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan hangat yang menjalari daun itu.

Proses peragian memang masih berlangsung. Dadanya gemuruh. Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe. Dan dia kecewa, tempe itu masih belum juga berubah. Kacangnya belum semua menyatu oleh kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri. Dia yakin, Allah pasti sedang “memproses” doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia.

Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. “Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan tempe . Karena itu ya Allah, jadikanlah. Bantulah aku, kabulkan doaku”.

Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun pembungkus tempe. Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari daun itu, dan belum jadi. Kacang itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang tersebut.

“Keajaiban Tuhan akan datang, pasti,” yakinnya. Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, “tangan” Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia memanjatkan doa, berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya.

Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan keranjang-keranjang itu. “Pasti sekarang telah jadi tempe!” batinnya. Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan dan dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi.

Kecewa, aitmata menitiki keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi? Kenapa Tuhan begitu tidak adil? Apakah Dia ingin aku menderita? Apa salahku?
Demikian batinnya berkecamuk. Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu.

Dan dia tiba-tiba merasa lapar merasa sendirian. Tuhan telah meninggalkan aku, batinnya. Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan esok dia pun tak akan dapat makan. Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan “teman-temannya” sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas.

Dianggukinya mereka yang pamit, karena tempenya telah laku. Kesedihannya mulai memuncak. Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat.

Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah tersenyum, memandangnya. “Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang menjualnya. Ibu punya?” Penjual tempe itu bengong. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat.

Tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menadahkan tangan. “Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe.” Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi setengah ragu, dia letakkan lagi. “jangan-jangan sekarang sudah jadi tempe …” “Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi?” tanya perempuan itu lagi. Kepanikan melandanya lagi.

“Duh Gusti… bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan jadikan tempe ya?” ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat, pembaca?? Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi! “Alhamdulillah! ” pekiknya tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli. Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. “Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi? Oohh, bukan begitu bu, anak saya si Sulhanuddin, yang kuliah S2 di Australia ingin sekali makan tempe asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok sampai disana masih layak dimakan. Oh ya, jadi semuanya berapa bu?”

Sooo, ini kisah yang biasa bukan? Dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa, dan “memaksakan” Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok untuk kita. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan merasa kecewa. padahal, Allah paling tahu apa yang paling cocok untuk kita. Bahwa semua rencananya adalah sempurna.



Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com

penjual ikan

enis Ikan Etong Digemari Saat Buka Puasa
Oleh : Asep Saevata

04-Okt-2007, 12:39:27 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Mendekati pada hari lebaran sangat dirasakan oleh para pedagang pakaian, makanan, dan minuman. Seperti halnya Badruzaman (40) asal tasik penjual ikan bakar Etong (jenis ikan laut) yang berada di pinggiran jalan Letjen Suprapto depan SMP 1 Subang. Merasakan sekali lonjakan para pembeli ketika menginjak mulai hari yang ke lima belas.

Bahkan sampai saat ini para pembeli hampir tak tertahan, yang awalnya buka jam 4 sore pada hari biasa dan awal memasuki hari pertama sampai ke 14 pembeli masih biasa dilayanai dengan santai. Ketika melewati hari ke 15 puasa hingga para pekerjanya harus betul-betul kerja extra, terlihat saat Wartawan mampir ketika menjelang buka puasa pembeli sudah antri dan mereka yang datang sudah memesan sebelumnya.

Dengan demikian Badru berusaha untuk membakar ikan lebih awal, yang tadinya kalau membakar harus ada pemesan dulu dengan adanya lonjakan pembeli maka Badru harus menyiapkan ikan 30 ekor untuk dibakar lebih awal.

“Biasanya jam 4 sore saya buka kios hanya mempersiapkan tempat dan beres-beres saja, tapi ketika hari puasa sudah melewati pertengaan pembeli sudah pesan duluan, dan kepada pekerja saya anjurkan untuk membakar ikan di dahulukan untuk yang sudah memesan dan kalaupun tidak ada yang pesan saya suruh anak-anak untuk membakar ikan agar pembeli yang mau berbuka tinggal ngambil. Semua itu untuk mengantisipasi yang mau berbuka disini” Tutur Badru.

Dengan adanya serbuan para pembeli stok ikan yang biasanya 40 kg per hari saat ini Badru harus menyiapkan ikan segar sebanyak 70 kg perhari untuk persiapan dikarenakan selain dari pelanggan yang sudah biasa makan ikan bakar. Menurut Nur Alam (30) salah seorang pekerja Badru pada Wartawan, yang biasanya tidak pernah membakar ikan banyak pada awal buka kios dengan keadaan ini dia harus bekerja keras untuk persiapan orang-orang yang akan berbuka.

“Sekarang ini saya harus menyediakan ikan yang sudah matang atau dibakar pada awal buka kios, kalau tidak seperti ini pembeli kewalahan mungkin dengan keadaan seperti ini banyak orang-orang yang sudah mudik dan ingin menikmati makanan ikan bakar dan Mungkin dengan telah dekatnya hari Lebaran orang-orang kan pada pulang, jadi ada yang belum pernah merasakan ikan bakar etong mereka penasaran kayanya, dan datang kesini maka persediaan ikan harus saya tambah sekitar 60 prosen” Kata Nur Alam.

Kendati demikian bagi penjual ikan bakar dengan melonjaknya para pembeli otomatis omset pendapatanpun bertambah, dan bisa meraup keuntungan pada saat sekarang ini hal ini bukan tidak mungkin untuk setiap pengusaha yang biasa berjualan adalah satu kesempatan dimana pada hari-hari tertentu seperti pada menjelang pertengahaan Ramadhan untuk menaikan harga jualnya seperti halnya para penjual pakaian dan makanan lain kalau menjelang hari raya tiba biasanya menaikan harga.

Namun hal itu buat Badru bukan untuk mencari kesempatan pada saat Ramadhan atau mendekati Hari Lebaran, karena menurutnya dengan adanya lonjakan pembeli juga sudah merupakan satu keuntungan lebih dibanding hari-hari biasa saat berjualan. Dengan banyaknya pembeli pada bulan Ramadhan ini bagi Badru selain keuntungan yang didapat juga waktu untuk istirahat lebih banyak karena kalau diluar bulan Ramadhan dari buka jam 4 sore tutup hingga jam 3 pagi, di bulan Ramadhan yang sudah dekat dengan hari lebaran kini tutup jam 11 dari buka kiosnya jam 4 sore.

“Untuk masalah harga saya jual dengan harga hari-hari biasa saja, tidak akan menaikan harga terkecuali ikan dari pemasok naik ya baru saya menaikan harga. Karena dengan menambahnya para pembeli itu juga sudah merupakan hasil yang lumayan dan waktu jualan pun bisa lebih cepat, biasanya saya tutup sampai jam setengah tiga pagi, kalau sekarang kan dengan menambahnya pembeli jam sebelas atau jam dua belas ikan sudah habis. Dengan demikian kan anak-anak yang kerja juga bias lebih banyak waktu istirahatnya” Ujar Badru.

Blog: http://pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (
surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!!
Kunjungi segera: http://kabarindonesia.com/

Peternak Ayam

Bob Sadino

bob sadinoSosok berambut putih, bercelana pendek, dan kadang mengisap rokok dari cangklongnya ini begitu mudah dikenali. Gaya bicaranya blak-blakan tanpa tedeng aling-aling. Ia adalah Bob Sadino, pengusaha sukses yang terkenal dengan jaringan usaha Kemfood dan Kemchick-nya. Beberapa kali wajahnya ikut tampil di beberapa sinetron hingga ke layar lebar, meski kadang hanya tampil sebagai figuran.

Penampilannya yang serba cuek itu ternyata sejalan dengan pola pikirnya yang apa adanya. Sebab, menurutnya, apa yang diraihnya saat ini adalah berkat pola pikir yang apa adanya itu. Ia menyebut bahwa kesuksesannya didapat tanpa rencana, semua mengalir begitu saja. Yang penting, adalah action dan berusaha total, dalam menggeluti apa saja.

Totalitas Bob memang patut diacungi jempol, apalagi mengingat lika-liku jalan hidup yang telah ditempuhnya. Pria kelahiran Lampung, 9 Maret 1933 yang hanya lulusan SMA ini pernah mengenyam profesi dari sopir taksi hingga kuli bangunan untuk sekadar bertahan hidup.

Saat masa sulitnya, ia pernah hampir depresi. Tapi, ketika itu seorang temannya mengajaknya memelihara ayam. Dari sanalah ia kemudian terinspirasi, bahwa kalau ayam saja bisa memperjuangkan hidup, bisa mencapai target berat badan, dan bertelur, tentunya manusia juga bisa. Itulah yang kemudian mengawali langkahnya untuk berwirausaha. Ia pun kemudian memutuskan untuk makin menekuni usaha ternak ayam.

Pada awalnya, ia menjual telur beberapa kilogram per hari bersama istrinya. Mereka menjual telur itu awalnya dari pintu ke pintu. Dan, dengan ketekunan dan kemampuannya menjaga hubungan baik, telurnya makin laris. Dari sanalah kemudian usahanya terus bergulir. Dari hanya menjual telur, ia lantas menjual aneka bahan makanan. Itulah yang akhirnya menjadi cikal bakal supermarket Kemchick miliknya. Ia kemudian juga merambah agribisnis khususnya holtikutura, mengelola kebun-kebun yang banyak berisi sayur mayur untuk dijual pada orang asing seperti orang Jepang dan Eropa. Hubungan baik dengan orang-orang asing inilah yang kemudian makin membesarkan usahanya hingga ia akhirnya juga memiliki usaha daging olahan Kemfoods.

Dalam menjalankan setiap usahanya, Bob selalu menyebut dirinya tak punya kunci sukses. Sebab, ia percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diimbangi kegagalan, peras keringat, dan bahkan jungkir balik. Menurutnya, uang adalah prioritas nomor sekian, yang penting adalah kemauan, komitmen tinggi, dan selalu bisa menciptakan kesempatan dan berani mengambil peluang.

Bob menyebut, kelemahan banyak orang adalah terlalu banyak berpikir membuat rencana sehingga tidak segera melangkah. Ia mengatakan bahwa ketika orang hanya membuat rencana, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain, muncullah sifat arogan. Padahal, intinya sebenarnya sederhana saja, lakukan dan selalu dengarkan saran dan keluhan pelanggan. Bob membuktikan sendiri, ia yang hanya bermodal nekad, tapi berlandaskan niat dan keyakinan, serta kerja keras pantang menyerah, tanpa teori sukses ia pun bisa jadi seperti sekarang.

Sukses itu bukan teori. Namun didapat dari perjuangan dan kerja keras, serta dilandasi keyakinan kuat untuk mewujudkan cita-cita. Bob Sadino adalah contoh nyata bahwa setiap orang bisa sukses asal mau membayar "harga" dengan perjuangan tanpa henti.

Source : http://www.yukbisniscom/

Kebesaran Jiwa Seorang Ibu

Kebesaran Jiwa Seorang Ibu

Kebesaraan jiwa seorang ibu

Kejadian ini terjadi di sebuah kota kecil di Taiwan, Dan sempat dipublikasikan lewat media cetak dan electronic.

Ada seorang pemuda bernama A be (bukan nama sebenarnya). Dia anak yg cerdas, rajin dan cukup cool. Setidaknya itu pendapat cewe2 yang kenal dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dia sudah di promosikan ke posisi manager. Gaji-nya pun lumayan.

Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor. Tipe orangnya yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman2 kantor senang bergaul dengan dia, terutama dari kalangan cewe2 jomblo. Bahkan putri owner perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus pada A be.

Dirumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering. Rambutnya hanya tinggal sedikit dibagian kiri dan belakang. Tergerai seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita tua ini betul2 seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar rumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada keperluan penting. Wanita tua ini tidak lain adalah Ibu kandung A Be.

Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan rutin layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat. Membereskan rumah, pekerjaan dapur, cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu2-nya A be. Namun A be adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi Ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya. Setiap kali ada teman atau kolega business yang bertanya siapa wanita cacat dirumahnya, A be selalu menjawab wanita itu adalah pembantu yang ikut Ibunya dulu sebelum meninggal. “Dia tidak punya saudara, jadi saya tampung, kasihan.” jawab A be.

Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang Ibu. Tentu saja Ibunya sedih sekali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya. Hari demi hari kemurungan sang Ibu kian parah. Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak kuat bangun dari ranjang. A be mulai kerepotan mengurusi rumah, menyapu, mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali cari pembantu, kalaupun ada mahal sekali).

Hal ini membuat A be jadi BT (bad temper) dan uring-uringan dirumah. Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari Ibunya, A be melihat sebuah box kecil. Didalam box hanya ada sebuah foto dan potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan A be. Foto berukuran postcard itu tampak seorang wanita cantik. Potongan koran usang memberitakan tentang seorang wanita berjiwa pahlawan yang telah menyelamatkan anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk erat anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei kasur basah menerobos api yang sudah mengepung rumah. Sang wanita menderita luka bakar cukup serius sedang anak dalam dekapannya tidak terluka sedikitpun.

Walau sudah usang, A be cukup dewasa untuk mengetahui siapa wanita cantik di dalam foto dan siapa wanita pahlawan yang dimaksud dalam potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung A be. Wanita yang sekarang terbaring sakit tak berdaya. Spontan air mata A be menetes keluar tanpa bisa di bendung. Dengan menggenggam foto dan koran usang tersebut, A be langsung bersujud disamping ranjang sang Ibu yang terbaring. Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini. Sang Ibu-pun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya. ” Yang sudah-sudah nak, Ibu sudah maafkan. Jangan di ungkit lagi”.

Setelah ibunya sembuh, A be bahkan berani membawa Ibunya belanja kesupermarket. Walau menjadi pusat perhatian banyak orang, A be tetap cuek bebek. Kemudian peristiwa ini menarik perhatian kuli tinta (wartawan). Dan membawa kisah ini kedalam media cetak dan elektronik.

Teman2 yang masih punya Ibu (Mama atau Mami) di rumah, biar bagaimanapun kondisinya, segera bersujud di hadapannya. Selagi masih ada waktu. Jangan sia-sia kan budi jasa ibu selama ini yang merawat dan membesarkan kita tanpa pamrih. kasih seorang ibu sungguh mulia.

Buruh

Kisahku BuruhMay 1, '08 9:30 PM
for everyone
Memperingati hari Buruh (May Day) kemarin, 1 Mei 2008.

Buruh pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik secara jasmani maupun rohani.Pada dasarnya buruh dibagi atas 2 klasifikasi besar:
  • Buruh profesional - biasa disebut buruh kerah putih, menggunakan tenaga otak dalam bekerja
  • Buruh kasar - biasa disebut buruh kerah biru, menggunakan tenaga otot dalam bekerja
Buruh pada dasarnya hanya menunjuk kepada tenaga kerja di bidang industri dan jasa. Di bidang pertanian, tenaga kerja tidak lazim disebut sebagai buruh. (Wikipedia)



12 tahun lalu, minatku kuliah di Arsitektur ITB tidak pernah kesampaian karena UMPTN tidak lolos. Aku tak menyesal karena kusadari ini akibat 'kebandelan' ku kebanyakan naik gunung sehingga studi di SMA tidak maksimal, bayangkan 2 minggu sebelum UAN saya masih naik gunung Rinjani! Untuk kuliah swasta, aku tak yakin ayahku bisa biayai karena ayahku hanya seorang PNS Guru yang jujur bak Oemar Bakri. Sayangnya orang tua tidak pernah mendidik jiwa enterpreneur untuk menjalani hidup ini. Akhirnya dengan hanya berbekal ijazah SMA, kucoba mencari kerja kesana kemari. Selama jadi pelajar aku dikenal cerdas dan rajin, tapi itu saja tidak cukup untuk jadi bekal memasuki dunia kerja. Tidak bisa kupungkiri, jika mencari kerja hanya berbekal ijazah SMA dengan jalur resmi maka faktor fisik akan jadi prioritas penting, sementara aku ingin mengenakan jilbab. Karena itu aku terpikirkan untuk melamar ke pabrik² sebagai Operator Produksi alias Buruh karena pekerjaan itu tidak memerlukan penampilan fisik tapi yang penting kemauan bekerja. Maka pekerjaan ini kujalani dengan sabar sambil menabung, sampai 3x aku berpindah-pindah pabrik untuk mencari pengalaman hidup sekaligus menabung. Suatu hari aku pernah menghadap Personalia sebuah pabrik, aku minta pindah bagian ke tempat yang banyak lemburan dan ada tunjangan shift sampai orang Personalia itu terpana melihat tekadku. Selama jadi Buruh, banyak sekali pelajaran dan makna hidup bisa kupetik. Biasanya kucari ilmu survive di gunung, ini sungguh kudapatkan ilmu survive hidup di dunia nyata sesungguhnya.

Alhamdulillah dari hasil menabung, aku bisa kuliah walaupun tidak sesuai dengan minat semula. Lulus kuliah, kuhadapi lagi kesulitan mencari kerja. Kubisiki hati sendiri, jangan pernah menyerah pada hidup karena Alloh SWT selalu bersama orang sabar, teruslah berikhtiar. Maka berbagai pekerjaan nan halal kujalani, sambil terus mencari pekerjaan yang cocok. Aku sempat jadi pengajar kursus, staf EDP, System analyst, itu masih saja jadi seorang Buruh walau bukan Buruh kasar tapi Buruh profesional jika merujuk pada definisi Wikipedia. Sampai akhirnya kini aku telah jadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan perjuangan sendiri tanpa uang suap sedikitpun. Alhamdulillah, lagi-lagi dari hasil menabung kini aku berhasil mandiri tinggal di rumah sendiri walaupun itu menyicil. Pada dasarnya, menjadi PNS masih kurasakan sebagai Buruh juga. Hanya bedanya dulu Buruh untuk Industri, kini jadi Buruh untuk Negara. Selama kita masih jadi karyawan atau pegawai yang bekerja pada pihak lain, tetap itu adalah Buruh. Menurutku, jika sudah memiliki usaha sendiri yang dijalani dengan kemampuan manajemen sendiri untuk pencapaian tujuan sendiri tanpa terikat pada pihak lain maka saat itulah kita bukan Buruh lagi. Maka menjadi wiraswastawati adalah obsesiku kini, agar bisa kubuka sebuah lahan usaha yang mandiri yang bisa membuka lapangan kerja untuk menolong orang lain. Aku kagum pada setiap enterpreneur yang berhasil dengan usahanya. Aku ingin seperti itu. Tapi kapankah itu terwujud? Kun Fayakun, do'akan saja agar bisa kuwujudkan mimpi itu. Salam sukses!

Kisahnya Kangen Band

Kangen Suara Jelata - Frans Sartono

Suatu siang di Kantor Warner Music, Jakarta, enam awak band melahap nasi bungkus sambil duduk lesehan di lantai atau duduk bersila di sofa. Mereka adalah personel Kangen Band, kelompok dari Kecamatan Kedaton, Bandar Lampung, yang belakangan naik daun.

“Pacarku cintailah aku/ Seperti aku cinta kamu/ Tapi kamu kok selingkuh.”

Itu penggalan lirik lagu Selingkuh dari Kangen Band, yang menurut seorang produser terkesan agak “kampungan”. Akan tetapi, justru nuansa kampungan itulah yang menjadikan perusahaan rekaman Warner mengambil Kangen Band.

Band bentukan 4 Juli 2005 itu kini tengah mencicipi ujung dari sebuah popularitas. Album pertama Aku, Kau & Dia yang dirilis Warner Music Indonesia (WMI) pada Februari 2007 terjual sekitar 300.000 keping. Ini termasuk angka cukup tinggi mengingat artis terkenal pun saat ini cukup sulit untuk meraih angka penjualan 50.000 kopi.

Jadwal konser keliling mereka padat. Bulan Juni lalu mereka tur ke belasan kota di Jawa Tengah, seperti Cilacap, Klaten, Jember, Tuban, Sidorajo, sampai Banyuwangi, dan Kalimantan. Di Sampit, Kalimantan, mereka tampil di hadapan sekitar 19.000 penonton. Kangen bahkan akan tampil pada konser akbar Soundrenalin 2007. Mereka kebagian tampil di Palembang (22 Juli) dan Surabaya (5 Agustus).

Kangen tengah mencicipi rezeki. Meski relatif “kecil” dibandingkan dengan perolehan band penghasil album sampai di atas satu juta kopi, awak Kangen sudah sangat bersyukur. Dodhy, sang gitaris, vokalis, dan penggubah lagu, bisa membeli sepeda motor, pesawat televisi, dan meja-kursi, serta membantu ayahnya yang bekerja sebagai penarik becak.

“Aku sudah meminta bapak untuk berhenti narik becak, tapi enggak mau. Katanya, baik untuk jantung,” kata Dodhy Hardiyanto (23) tentang ayahnya yang bernama Paijo.

Setakat, itulah pengalaman paling dramatik dalam perjalanan hidup Kangen sebagai band. Kangen berawak Dodhy pada gitar dan vokal, Andika (vokal), Thama (gitar 2), Bebe (bas), Iim (drum), dan Izzy (keyboards). Mereka sama sekali tak menyangka akan diambil oleh Warner, perusahaan rekaman besar yang juga menaungi Jikustik sampai Maliq & D’Essential. Warner sebagai bagian dari perusahaan rekaman raksasa Warner Group juga mengedarkan album dari sederet nama terkenal, mulai Phil Collins, MUSE, My Chemical Romance, sampai Linkin Park.

“Ketika tiba di Jakarta, kami ketemu Pak Jusak (Produser WMI). Kami diajak makan. Meja makannya gede banget. Kami kaget saat diajak melihat studio rekaman. Kami peluk-pelukan dan menangis,” kenang Dodhy saat berkunjung ke WMI, Agustus 2006.

Jelata

Mereka lahir dari realitas kehidupan rakyat jelata, bukan produk reality show. Dodhy pernah menjadi kuli bangunan. Bebe yang bernama lengkap Novri Azwat (18) membantu orangtua jualan nasi uduk di depan Rumah Sakit Abdul Muluk, Bandar Lampung. Rustam Wijaya (22) alias Tama adalah penjual sandal jepit. Iim bekerja di bengkel motor, sedangkan Andika (23), sang vokalis, adalah penjual cendol keliling.

“Makanya suara keras karena biasa teriak-teriak jualan cendol,” seloroh rekannya.

Dodhy dan kawan-kawan biasa nongkrong menghibur diri sambil nyanyi di jembatan di Jalan Dr Sutomo. Sesekali, mereka berpatungan agar bisa berlatih band di studio rental. Mereka sering harus menjaminkan sepeda motor sebagai jaminan kekurangan biaya sewa studio.